29 Desember 2009

Pelaporan SPT Tahunan 2009 Orang Pribadi

Waktu untuk melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan 2009 sudah dekat. Baik WP (Wajib Pajak) Badan maupun Orang Pribadi -yang sudah memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)- dihimbau untuk melaporkan pelaksanaan kewajiban perpajakannya lewat pelaporan SPT Tahunan. Bagi yang belum memiliki NPWP dan perlu melaporkan SPT Tahunan, silakan membuat NPWP di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) setempat. Proses pembuatan NPWP itu cepat, mudah, dan tidak dikenakan biaya.

Formulir SPT Tahunan ini dapat diambil di KPP terdekat. Pengambilan formulir SPT Tahunan tidak harus di KPP tempat Anda terdaftar. Bagi yang tidak sempat mampir ke KPP, formulir tersebut dapat diunduh lewat situs www.pajak.go.id dan dicetak sendiri dengan ukuran kertas yang sesuai. Link untuk mengunduh SPT Tahunan tersebut ada di bawah ini:
Formulir dan petunjuk pengisian yang disediakan lewat kumpulan link di atas seharusnya sudah cukup jelas untuk membantu WP mengisi SPT Tahunan masing-masing. Bagi yang merasa kesulitan memahami petunjuk yang diberikan, sangat disarankan untuk menghubungi AR (Account Representative) di KPP tempat terdaftar -bukan di sembarang KPP.

SPT Tahunan Badan tidak akan dibahas lebih lanjut lewat tulisan ini. Sesuai judulnya, tulisan ini diperuntukan untuk membahas SPT Tahunan 2009 Orang Pribadi. SPT Tahunan Orang Pribadi terdiri dari tiga jenis, yaitu: 1770, 1770 S, dan 1770 SS. Ketiga jenis SPT Tahunan itu ditujukan untuk WP dengan jenis penghasilan yang berbeda.

SPT Tahunan 1770 ditujukan untuk WP yang mendapatkan penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas baik dari satu atau lebih pemberi kerja. WP yang dimaksud di sini juga wajib melaporkan penghasilan kena pajak yang bersifat final dan penghasilan-penghasilan lainnya.

SPT Tahunan 1770 S ditujukan untuk WP yang mendapatkan penghasilan dari satu atau lebih pemberi kerja, namun bukan dari usaha atau pekerjaan bebas. Di SPT Tahunan ini, WP yang dimaksud juga wajib melaporkan penghasilan kena pajak yang bersifat final dan penghasilan-penghasilan lainnya.

SPT Tahunan 1770 SS ditujukan untuk WP yang mendapatkan penghasilan HANYA dari satu pemberi kerja tanpa ada sumber penghasilan lain kecuali bunga bank dan/atau bunga koperasi. Itu pun dengan syarat bahwa total penghasilan kotor (belum dipotong pajak) WP terkait itu tidak lebih dari 60 juta Rupiah per tahun.

Bila Anda seorang pengusaha atau bekerja bebas (tidak memiliki pekerjaan tetap), gunakan SPT Tahunan 1770. Bila Anda seorang karyawan dengan penghasilan kotor per tahun lebih dari 60 juta Rupiah, gunakan SPT Tahunan 1770 S. Bila istri Anda juga memiliki sumber penghasilan dan terdaftar di bawah NPWP Anda, gunakan SPT Tahunan 1770 S dan cantumkan penghasilan istri Anda sebagai penghasilan kena pajak yang bersifat final.

Bila Anda adalah satu-satunya sumber penghasilan keluarga yang bersumber HANYA dari satu pemberi kerja dengan total penghasilan kotor per tahun kurang dari atau sama dengan 60 juta Rupiah, gunakan SPT Tahunan 1770 SS. Akan tetapi kalau istri Anda juga bekerja dan terdaftar di bawah NPWP Anda, gunakan SPT Tahunan 1770 S.

Informasi lebih lengkap dan lebih jelas dapat ditanyakan kepada AR masing-masing. Terlepas dari banyaknya sumber informasi mengenai pengisian SPT Tahunan ini, AR -seharusnya- merupakan alternatif terbaik untuk membantu Anda mengisi SPT Tahunan Anda.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

23 Desember 2009

Project for Indonesian Tax Administration Reform

PINTAR (Project for Indonesian Tax Administration Reform) adalah proyek berskala besar yang dilakukan DJP (Direktorat Jenderal Pajak) dalam rangka reformasi perpajakan jilid 2. Reformasi perpajakan jilid 1 mencakup modernisasi administrasi perpajakan, reformasi kebijakan perpajakan, serta kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan. Reformasi perpajakan jilid 2 ini diharapkan akan mengoptimalkan peran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) dalam administrasi perpajakan di Indonesia, baik untuk keperluan internal maupun eksternal DJP.

Proyek ini dimulai pada tahun 2009 dan diharapkan selesai pada tahun 2012/2013. Hasil dari proyek ini seharusnya memiliki dampak yang signifikan terhadap perpajakan Indonesia. Optimalnya peran TIK akan berjalan beriringan dengan meningkatnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) perpajakan yang berujung pada meningkatnya akuntabilitas dan transparansi instansi pengumpul uang negara ini.

Dengan meningkatnya peran TIK pada administrasi perpajakan kelak, WP (Wajib Pajak) sudah sepantasnya mengharapkan adanya perbaikan-perbaikan yang nyata dalam administrasi perpajakan di Indonesia ini. Contohnya antara lain dalam proses pendaftaran NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), pelaporan SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan, atau perubahan data WP (misalnya alamat tempat tinggal).

Peningkatan kualitas layanan juga dapat diharapkan terjadi pada proses keberatan dan banding, proses restitusi, atau proses pemeriksaan. Bisa dikatakan bahwa peningkatan layanan untuk WP diharapkan akan meningkat secara signifikan sehingga setiap WP dapat lebih mudah melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Peningkatan kualitas layanan ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan WP pada aparat perpajakan Indonesia. WP tidak perlu lagi merasa khawatir “dikerjai” oleh aparat perpajakan saat mengurus hak dan kewajiban mereka. WP pun tidak perlu lagi merasa direpotkan dengan rumitnya administrasi perpajakan. Dengan demikian WP pun tidak perlu lagi sungkan untuk meningkatkan kepatuhan mereka dalam urusan perpajakan.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/179423798/757163ff/ProjectforIndonesianTaxAdminis.html

06 Desember 2009

Pajak adalah Sedekah

Membayar pajak merupakan kewajiban yang sangat membebani warga negara. Sampai saat ini, saat DJP (Direktorat Jenderal Pajak) menerapkan mekanisme self-assessment dalam pelaporan pajak, masih banyak elemen masyarakat yang tidak rela melaporkan seluruh penghasilannya. Masih banyak orang yang tidak mau merelakan sebagian rejeki yang mereka terima untuk membayar pajak.

Alasan orang tidak membayar pajak tentu berbeda-beda. Ada yang memang tidak mampu, namun ada juga yang tidak mau. Mereka yang tidak mampu tidak mungkin dipaksa, tapi mereka yang tidak mau masih dapat dibujuk untuk membayar pajak sesuai kemampuan mereka.

DJP sudah sangat aktif mengarahkan para wajib pajak untuk membayar dan melaporkan pajaknya secara sukarela. Sistem self-assessment tidak akan efektif tanpa ada partisipasi aktif dari wajib pajak. Seandainya para wajib pajak mangkir dari kewajiban perpajakannya, maka DJP akan kembali aktif melakukan pemeriksaan pajak. Itu artinya perubahan akan berjalan mundur.

Sebagaimana saya paparkan di atas, kata "sukarela" itu tidak luput dari eksploitasi. Ada yang membayar pajak hanya demi status. Ada yang membayar pajak untuk menghindar dari jerat hukum. Ada banyak alasan lain yang pada dasarnya merupakan manifestasi dari keterpaksaan. Padahal pajak memiliki manfaat yang besar.

Kita bisa bayangkan bila negara kita ini tidak memiliki penerimaan yang cukup untuk mengurus keperluannya sendiri. Utang luar negeri kita akn terus bertumpuk tanpa ada jalan untuk melunasinya. Pembangunan akan berhenti atau malah berjalan mundur. Kemakmuran pun akan semakin sulit didistribusikan secara merata.

Kemandirian bangsa dan negara akan terbentuk dengan sendirinya saat kita mampu membiayai hidup kita sendiri tanpa bantuan dari pihak lain. Bayangkan kalau kita tidak memiliki utang luar negeri. Kita tidak akan mudah dipengaruhi dan mampu mengambil keputusan dengan tegas. Alokasi dana untuk pembayaran bunga utang itu pun dapat dialihkan untuk kepentingan dalam negeri.

Itulah alasannya kenapa tulisan ini menempatkan pajak pada posisi yang sama dengan sedekah, karena dengan membayar pajak, kita telah mengulurkan tangan untuk membantu pembangunan. Hasilnya tentu saja akan dinikmati oleh saudara-saudara sebangsa dan setanah air.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/180103876/61a3b1e7/PajakadalahSedekah.html

24 November 2009

Kesenjangan Pajak

Kesenjangan pajak adalah selisih antara jumlah pajak yang seharusnya dibayarkan dengan jumlah pajak yang benar-benar dibayarkan oleh wajib pajak (WP). Kesenjangan pajak dapat juga dimengerti sebagai selisih antara estimasi jumlah pajak dari pihak fiskus (aparat perpajakan) dengan realisasi pembayaran pajak dari pihak WP.

Ada tiga penyebab terjadinya kesenjangan pajak, yaitu:
  1. WP yang tidak mendaftarkan diri.
    WP yang dimaksud di sini adalah WP yang sudah wajib membayar pajak namun belum mendaftarkan diri mereka pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat.
  2. WP yang tidak melaporkan penghasilan sebagaimana mestinya.
    WP yang dimaksud di sini adalah WP yang tidak melaporkan penghasilan mereka sesuai kenyataannya. Misalnya WP yang hanya melaporkan penghasilan yang didapat dari usaha utamanya, tapi tidak melaporkan hasil usaha sampingannya. Contoh lain adalah WP yang bahkan sama sekali tidak melaporkan penghasilannya walaupun sudah mendaftarkan diri pada KPP setempat.
  3. WP yang tidak membayar pajak sebagaimana mestinya.
    WP yang dimaksud di sini adalah WP yang memang berniat untuk melanggar aturan perpajakan. Bentuk pelanggaran aturan ini antara lain merekayasa jumlah penghasilan untuk mengatur sendiri jumlah pajak yang perlu dibayar.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri sudah melakukan banyak hal yang dapat diartikan sebagai cara untuk mengurangi kesenjangan pajak yang terjadi di Indonesia. Berbagai iklan yang menganjurkan WP untuk segera mendaftar secara sukarela pada KPP setempat adalah cara untuk menekan jumlah WP yang tidak terdaftar. Promosi seperti keringanan dalam bentuk bebas fiskal bagi para pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) juga bertujuan agar para WP berkenan untuk mendaftar secara sukarela. Langkah-langkah seperti ini bertujuan untuk menekan faktor penyebab kesenjangan pajak pada butir 1 di atas.

Butir 2 pun tidak luput dari perhatian DJP. DJP kerap memberikan penyuluhan mengenai cara-cara pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan. WP tidak hanya mendapatkan informasi mengenai cara mengisi SPT, tapi juga informasi mengenai ketentuan-ketentuan perpajakan. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain mengenai jenis penghasilan yang dikenakan pajak, jenis biaya yang dapat dijadikan pengurang pajak, dan berbagai ketentuan lain.

Sunset Policy pada tahun 2008 juga memberikan kemudahan bagi para WP untuk melakukan pembetulan pada SPT tahun-tahun sebelumnya. Sunset Policy itu meniadakan sanksi untuk pembetulan SPT-SPT agar para WP secara sukarela melaporkan dan membetulkan SPT mereka pada tahun-tahun yang telah lalu.

Pemeriksaan pajak juga punya andil untuk mengatasi kesalahan-kesalahan dalam pelaporan pajak yang dilakukan oleh WP. Fiskus dapat melakukan koreksi pada bagian laporan yang dianggap tidak sesuai dengan aturan perpajakan untuk menekan potensi penghindaran atau penggelapan pajak.

Terobosan terbaru DJP adalah pengadaan sistem Total Benchmarking yang memungkinkan adanya acuan tegas dalam mengukur kinerja perpajakan WP. Sistem ini dapat digunakan oleh DJP untuk mencari indikasi adanya kecurangan pada pelaporan pajak sehingga proses pemeriksaan pajak menjadi lebih tepat sasaran.

Walaupun begitu, celah akan selalu ada. Usaha untuk mempersempit kesenjangan pajak membutuhkan daya yang besar dan waktu yang tidak singkat. Selama WP masih merasa terpaksa untuk membayar pajak, maka WP akan mencari cara untuk mengurangi jumlah pajak yang perlu mereka bayar. Pada akhirnya kesenjangan pajak akan senantiasa ada.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/180751445/6e2dee1c/KesenjanganPajak.html

19 Oktober 2009

Total Benchmarking Perpajakan

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akhirnya memberikan pernyataan resmi mengenai pemanfaatan Total Benchmarking dalam pengawasan Wajib Pajak (WP). Total Benchmarking akan dijadikan acuan oleh DJP dalam mengukur kinerja perpajakan WP.

Acuan ini pada dasarnya memang mempermudah pengawasan WP. Total benchmarking memungkinkan DJP untuk lebih mudah menentukan calon-calon WP yang kinerja perpajakannya mencurigakan untuk ditindaklanjuti dengan himbauan atau pemeriksaan. Kriteria yang digunakan untuk menentukan WP nakal pun menjadi lebih jelas dengan mengacu pada total benchmarking.

Kalau memang total benchmarking dapat digunakan secara optimal, kinerja DJP akan menjadi lebih efektif karena orientasi pekerjaan menjadi lebih terarah dan terukur. Selain itu, total benchmarking juga dapat membantu mengukur potensi perpajakan yang dapat digali. Hal ini memungkinkan penentuan target perpajakan yang lebih realistis dan terukur.

WP pun harus lebih waspada. Celah untuk bermain dengan kewajiban perpajakan pun menyempit. Total benchmarking tidak hanya mengukur jumlah pajak yang disetor oleh WP, tapi juga melihat tingkat kewajaran kinerja keuangan WP tersebut. Jadi pengawasan oleh aparat perpajakan tetap dilakukan secara menyeluruh.

Hal ini terkait dengan tulisan saya sebelumnya, yaitu SPT Tidak Harus Benar. SPT (Surat Pemberitahuan), baik Masa maupun Tahunan, pada dasarnya tidak harus sesuai kenyataan. Kriteria yang wajib dipenuhi oleh SPT adalah wajar.

Dengan memenuhi kriteria wajar, sebuah SPT sudah dianggap benar. Total benchmarking ini membantu aparat perpajakan melakukan analisa terhadap kewajaran tersebut. SPT tetap tidak harus sesuai kenyataan, tapi harus sesuai dengan tingkat kewajaran yang ditentukan oleh total benchmarking.

Orang Bijak Taat Pajak!

Referensi:
  • SDM Terbatas, Ditjen Pajak Terapkan Total Benchmarking. 17 Oktober 2009. KOMPAS.com. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/10/17/20040314/sdm.terbatas.ditjen.pajak.terapkan.total.benchmarking; diakses tanggal 19 Oktober 2009.
--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/180754079/7c61a91a/TotalBenchmarkingPerpajakan.html

15 Oktober 2009

Iklan Pajak Kelima Di Yahoo! Mail



Iklan pajak kelima yang saya temukan di Yahoo!Mail Classic. Seperti biasa, gambar di atas merupakan cuplikan dari animasi flash iklan tersebut. Isinya tidak lain tidak bukan terkait dengan kepemilikan NPWP dan pelaporan SPT Tahunan. Selaras dengan kata-kata yang tercantum pada gambar di atas, mari bersama membangun negeri dengan membayar pajak.

Orang Bijak Taat Pajak!

15 September 2009

Bajakan dan PPN

Saya pernah mendengar sebuah iklan tentang pajak di radio Elshinta. Tema yang diangkat dalam iklan tersebut adalah barang bajakan dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Iklan tersebut pada intinya ingin menyampaikan pesan agar tidak membeli barang bajakan, karena dengan membeli barang bajakan (atau barang pasar gelap) kita tidak membayar PPN. Sepertinya iklan itu pun ditutup dengan kalimat "Apa kata dunia?"

Memang benar orang yang membeli barang bajakan (atau barang pasar gelap) tidak membayar PPN. Bagaimana mungkin barang-barang seperti itu dikenakan PPN kalau jalur masuk ke dalam negerinya tidak terdeteksi oleh aparat yang berwenang? Sepertinya ini yang menjadi salah satu alasan kuat terhadap murahnya harga barang-barang bajakan.

Sebagai warga negara yang bijak -dan tentunya taat pajak- sudah sepantasnya kita tidak lagi membeli barang bajakan. Dengan membeli barang-barang secara resmi, kita sudah ikut melaksanakan tanggung jawab kita sebagai warga negara. Kita, sebagai konsumen, sudah membayar pajak.

Ibaratnya sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, dengan iklan tersebut sepertinya ada dua hal yang ingin dicapai. Pertama, mengurangi tingkat pembajakan. Kedua, meningkatkan kesadaran terhadap pajak. Akan tetapi, menurut saya, kedua hal tersebut tidak dapat dikatakan relevan.

Saya rasa banyak orang menggunakan barang bajakan bukan karena tidak ingin membayar PPN. Mereka menggunakan barang bajakan karena pada dasarnya mereka tidak mampu -atau pura-pura tidak mampu- membeli barang secara resmi. Harga bajakan dengan harga resminya seringkali ibarat bumi dan langit. Ketimbang lelah menggapai langit, akhirnya banyak orang memilih bertahan di bumi. Orang memilih bajakan karena bajakanlah yang mampu mereka beli. Mereka tidak perlu jauh-jauh mempertimbangkan PPN dalam mengambil keputusan ini.

Membeli bajakan dan menghindari PPN sepertinya tidak memiliki korelasi yang kuat. Walaupun begitu, saya tetap angkat topi untuk Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atas berbagai iklan yang telah dikeluarkan dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pajak. Saya rasa akan tiba waktunya saat semua orang mampu membeli barang dengan harga resmi sehingga mereka tidak lagi acuh terhadap PPN. Sayangnya "waktu" untuk itu bukan sekarang dan sepertinya masih agak jauh di masa depan.

Terlepas dari itu, saya tidak bermaksud untuk membenarkan pembelian barang bajakan. Kalau memang memungkinkan, mari kita budayakan penggunaan barang yang resmi. Semoga saja alternatif barang resmi yang lebih murah akan lebih banyak hadir di tengah-tengah kita.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/180758104/68596ef/BajakandanPPN.html

08 September 2009

Kompilasi Iklan Pajak di Yahoo! Mail

Ada empat iklan pajak yang berhasil saya temukan di Yahoo!Mail. Sekedar menegaskan, iklan-iklan ini saya temukan di Yahoo!Mail versi Classic. Saya tidak tahu apakah iklan-iklan ini juga muncul di Yahoo!Mail versi baru.





Bentuk asli iklan-iklan tersebut adalah animasi flash. Gambar-gambar di atas merupakan cuplikan dari animasi flash yang menurut saya menggambarkan isi iklan secara keseluruhan. Gambar-gambar di atas saya ambil dari akun email saya sendiri.

Usaha Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menghimbau masyarakat melalui iklan ini terbilang banyak dan tidak hanya di media Internet saja. DJP juga menampilkan iklan layanan masyarakat sejenis di media televisi, radio, dan media cetak.

Saya sempat menemukan seorang selebriti sedang mempromosikan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) miliknya sendiri seraya membeberkan -kalau tidak salah- kemudahan membayar pajak dan manfaat dari pajak itu sendiri. Mungkin saja ini adalah inisiatif dari selebriti itu sendiri, tapi sepertinya pikiran seperti ini terlalu naif. Jadi saya berasumsi bahwa pengakuan selebriti itu pun bagian dari promosi pajak.

Ada dua hal yang saya ingin tahu terkait dengan iklan ini. Pertama, saya jelas ingin tahu dampak iklan-iklan ini secara langsung terhadap kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajiban perpajakannya. Kedua, saya ingin tahu siapa yang mengurus pembuatan dan penerbitan iklan-iklan tersebut. Sayangnya saya tidak tahu harus mencari ke mana untuk mendapatkan informasi yang saya butuhkan.

Orang Bijak Taat Pajak!

Tulisan terkait:
http://bicarapajak.blogspot.com/2009/07/iklan-pajak-kedua-di-yahoo-mail.html
http://bicarapajak.blogspot.com/2009/06/iklan-pajak-di-yahoo-mail.html

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

03 September 2009

Kenapa Anda Membayar Pajak?

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak akan pernah berhenti menghimbau masyarakat untuk menunaikan kewajibannya membayar pajak. Sementara mayoritas masyarakat akan senantiasa mencari cara untuk menekan kewajiban pajak mereka. Siapa pun tentu menyadari bahwa pada umumnya tidak ada satu orang pun yang rela mengeluarkan uangnya untuk membayar pajak. Mereka seperti tidak memiliki alasan yang kuat untuk menumbuhkan kerelaan itu.

DJP sudah berkali-kali menyebutkan manfaat pembayaran pajak seperti pembangunan jalan, pengembangan fasilitas umum, atau manfaat lainnya. Mungkin pada akhirnya ada lebih banyak anggota masyarakat yang mulai menyadari kewajiban perpajakannya. Tapi untuk benar-benar merelakan sebagian uangnya demi membayar pajak, saya rasa butuh lebih dari sekedar himbauan atau bahkan peraturan.

Memang pajak seharusnya tidak dikaitkan dengan kerelaan. Pajak adalah kewajiban yang terkait erat dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Mereka yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut akan mendapatkan hukuman sesuai peraturan-peraturan tersebut. Mereka yang melaksanakan kewajiban tersebut akan merasakan (secara tidak langsung) manfaat dari pajak yang dibayarkan.

Terlepas dari itu semua, sebenarnya apa yang membuat seseorang mau membayar pajak?

1. Karena kesadaran yang timbul dari hati yang paling dalam.
2. Karena takut dikejar-kejar aparat pajak.
3. Karena malu kalau ketahuan tidak membayar pajak.
4. Karena bekerja sebagai aparat pajak harus bisa memberi contoh yang baik.
5. Karena tidak sadar kalau sebenarnya penghasilannya sudah dipotong pajak.
6. Karena pajaknya dipotong atau dipungut oleh pihak lain.
7. Karena hidup tidak berarti tanpa membayar pajak.
8. Karena apa kata dunia kalau tidak membayar pajak.

Ada alasan lainnya?

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

20 Agustus 2009

PBB dan BPHTB Diatur Pemerintah Daerah

Berdasarkan UU PDRD (Undang-undang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah) yang baru saja disahkan oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) Pedesaan dan Perkotaan serta BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) akan menjadi bagian dari pajak daerah yang diatur oleh Pemda (Pemerintah Daerah) Kabupaten/Kota.

Sebelumnya PBB Pedesaan dan Perkotaan serta BPHTB dikelola oleh DJP (Direktorat Jenderal Pajak). Walaupun begitu, seluruh hasil penerimaan dari kedua jenis pajak tersebut dikembalikan kepada daerah. Jadi dengan dialihkannya PBB Pedesaan dan Perkotaan serta BPHTB ke daerah tidak akan mengganggu penerimaan pemerintah pusat.

Khusus untuk pengalihan PBB dan BPHTB itu sendiri, kekhawatiran bisa jadi timbul terkait dengan kualitas pengelolaan kedua pajak tersebut. Kalau memang kuasa penuh akan diberikan kepada Pemda, ada banyak hal yang perlu dipersiapkan agar tidak terjadi penurunan kualitas pelayanan untuk PBB dan BPHTB tersebut; entah itu terkait dengan SDM (Sumber Daya Manusia) atau teknologi informasi pendukungnya.

Kalau memang pengalihan tersebut sukses dilakukan oleh DJP dan Pemda terkait, maka beban kerja DJP akan berkurang. Seksi Ekstensifikasi masing-masing KPP Pratama yang umumnya cukup disibukan dengan urusan Tanah dan Bangunan dapat mengalokasikan lebih banyak waktu untuk mengerjakan tanggung jawab mereka yang lain.

Proses pengalihan dana hasil penerimaan PBB pun tidak perlu mondar-mandir dari satu rekening ke rekening lainnya. Semua hasil penerimaan PBB dapat langsung diserahkan ke rekening pemerintah daerah yang berhak tanpa perlu terlebih dahulu mampir ke rekening pemerintah pusat.

Penerimaan pajak daerah pun dapat ditingkatkan seiring dengan usaha untuk menekan munculnya pungutan-pungutan liar. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi APBD (Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) ke arah yang lebih baik dengan harapan diikuti juga oleh peningkatan kualitas fasilitas umum atau sejenisnya.

Orang Bijak Taat Pajak!

Tulisan terkait:
Pajak Bumi dan Bangunan Dikelola Pemerintah Daerah

Referensi:
  • Berliana Elisabeth S. 18 Agustus 2009. UU PDRD, pajak kendaraan bermotor naik jadi 10%. Bisnis.Com. http://web.bisnis.com/keuangan/1id133327.html; diakses tanggal 20 Agustus 2009.
  • Menkeu: Pemda Jangan Asal Buat Perda. 20 Agustus 2009. Batam Pos. http://batampos.co.id/Nasional/Nasional/Menkeu:_Pemda_Jangan_Asal_Buat_Perda.html; diakses tanggal 20 Agustus 2009.
--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

28 Juli 2009

Pimpinan Baru, Kebijakan Baru

Akhirnya DJP1 (Direktur Jenderal Pajak) pengganti Bapak Darmin Nasution terpilih. Pengganti beliau adalah Bapak Muhammad Tjiptardjo yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Intelijen dan Penyidikan DJP (Direktorat Jenderal Pajak).

Kalau kita bicara pimpinan baru, tentunya kita akan bicara kebijakan baru. Saya adalah satu dari sekian banyak orang yang menunggu kebijakan-kebijakan baru dari DJP1 terpilih. Kebijakan-kebijakan baru ini tentunya akan mempengaruhi banyak pihak baik internal maupun eksternal DJP.

Bagi diri saya, kebijakan yang paling utama untuk diperhatikan adalah kebijakan yang terkait dengan modernisasi perpajakan. Menurut saya modernisasi perpajakan adalah hal yang paling krusial untuk dipertahankan dan terus ditingkatkan untuk mempertahankan citra baik instansi DJP dan kepatuhan WP (Wajib Pajak).

Seandainya kondisi administrasi perpajakan kembali ke kondisi yang sulit -atau mudah tapi mahal- maka DJP sudah berjalan mundur. Citra baik instansi DJP akan menurun dan kemungkinan besar kepatuhan WP pun ikut menurun.

Hal lain yang penting bagi saya adalah masalah tunjangan, tapi saya rasa hal ini tidak relevan bila dikaitkan langsung dengan DJP1 karena ketentuan tunjangan ini terkait erat dengan kebijakan di tingkat Departemen Keuangan. Lagipula sepertinya tidak relevan untuk dibicarakan dalam blog ini.

Orang Bijak Taat Pajak!

* Gambar diambil dari http://www.pajak.go.id/

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

17 Juli 2009

Iklan Pajak Kedua di Yahoo! Mail

Untuk kedua kalinya saya memergoki iklan pajak di Yahoo! Mail. Bulan lalu, tepatnya tanggal 23 Juni, saya juga sempat menemukan iklan pajak saat saya membuka akun Yahoo! Mail saya. Iklan kali ini tidak lagi menampilkan space cowboy, tapi justru menampilkan maskot DJP (Direktorat Jenderal Pajak) yang siap berlibur. Cuplikan iklan tersebut dapat dilihat di bawah.

Tema iklan yang saya temukan kali ini sepertinya tidak jauh berbeda dengan iklan sebelumnya. Iklan kali ini juga bermaksud menganjurkan para WP (Wajib Pajak) yang belum melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan) Tahun 2008 untuk segera melaporkannya paling lambat tanggal 31 Desember 2009. Pihak DJP sengaja menghapuskan denda keterlambatan pelaporan SPT untuk tahun ini.

DJP sudah beberapa kali memberikan "pengampunan" dengan harapan kepatuhan para WP dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dapat terus ditingkatkan. Sepertinya tidak sedikit WP yang belum menyadari kewajiban perpajakannya. Jadi pengampunan seperti ini diharapkan dapat menghilangkan rasa takut para WP tersebut untuk mulai berinteraksi dengan dunia perpajakan. Melihat begitu banyak WP dalam kondisi seperti ini maka bukan tidak mungkin akan ada bentuk pengampuan lain di masa depan.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

03 Juli 2009

SPT Tidak Harus Benar

Menindaklanjuti masukan dari salah seorang pemberi komentar, tulisan ini tidak lagi saya tampilkan.Mohon maaf sebelumnya bila kondisi ini mengakibatkan ketidaknyamanan. Untuk tulisan-tulisan yang terkait dengan SPT (Surat Pemberitahuan), silakan kunjungi link ini.

SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan pajak tidak harus benar. Yang dimaksud dengan tidak harus benar ini adalah karena pada dasarnya yang dinilai dari SPT adalah kewajarannya. Bila SPT dianggap tidak wajar, maka ada kemungkinan dilakukan pemeriksaan pajak terhadap WP (Wajib Pajak) terkait.

Saya rasa perbedaan benar dan wajar sudah cukup jelas. Kalau Anda melaporkan SPT sesuai kondisi sebenarnya, maka SPT Anda sudah benar. Tapi isi dari SPT Anda itu akan menentukan wajar atau tidaknya. Elemen-elemen dalam SPT Anda yang akan menentukan apakah SPT itu wajar atau tidak.

Misalnya dalam konteks OP (Orang Pribadi), kewajaran SPT akan dinilai dengan membandingkan jumlah penghasilan seseorang dengan jumlah harta atau kewajiban dari OP tersebut. Dalam konteks Badan (Perusahaan dan sejenisnya), kewajaran SPT akan dinilai melalui laporan keuangan Badan tersebut.

Pelaksanaan pemeriksaan pajak yang saya sebutkan di atas akhirnya ditentukan oleh hasil penilaian terhadap kewajaran sebuah SPT. Sebuah SPT yang benar pada dasarnya adalah SPT yang isinya dianggap wajar. Sebaliknya SPT yang tidak benar pada dasarnya adalah SPT yang isinya dianggap tidak wajar.

Yang menjadi pertanyaan adalah apa acuan yang dapat digunakan untuk mengetahui apakah SPT itu wajar atau tidak? Bagaimana caranya agar kita dapat tahu bahwa SPT yang kita serahkan tidak akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan pajak? Apa yang perlu kita lakukan agar penyerahan SPT tidak malah membuat kita was-was?

Ada banyak konsultan pajak yang hadir untuk menjawab semua pertanyaan itu. WP Badan pada umumnya menyewa jasa konsultan pajak untuk mengurus masalah perpajakannya. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa konsultan pajak itu "mengatur" masalah perpajakan klien-kliennya. Saya yakin para konsultan pajak itu lebih tahu definisi wajar dari SPT klien-klien mereka.

Sementara untuk WP OP, ada beberapa hal dasar yang menurut saya perlu diperhatikan untuk menjaga kewajaran SPT. Pertama adalah keseimbangan. WP OP akan melaporkan jumlah penghasilan, harta, dan kewajiban. Ketimpangan pada elemen-elemen ini dapat menimbulkan anggapan ketidakwajaran. Kedua adalah kesinambungan. Jumlah penghasilan, harta, dan kewajiban yang dilaporkan setiap tahun dapat digunakan untuk menilai kewajaran SPT. Perubahan yang drastis antara satu tahun dengan tahun yang lainnya dapat menimbulkan anggapan ketidakwajaran.

Oleh karena itu sebaiknya WP OP membiasakan membuat arsip SPT yang dilaporkannya. Dengan begitu saat waktu pelaporan SPT Tahunan tiba, WP OP tersebut dapat melihat kembali arsip SPT tahun-tahun sebelumnya. Paling tidak jumlah harta dan kewajiban yang dilaporkan di tahun-tahun sebelumnya dapat dengan mudah dilihat kembali.

Intinya adalah kebenaran SPT dinilai dari kewajarannya. Walaupun begitu, tulisan ini tidak bermaksud mendorong WP untuk "mengatur" isi SPT yang dilaporkannya. Perlu diperhatikan bahwa pemeriksaan pajak tidak hanya dilakukan karena ada SPT yang tidak wajar. Ada kalanya pemeriksaan pajak tetap dilakukan untuk menguji kejujuran WP itu sendiri. Apalagi DJP (Direktorat Jenderal Pajak) memiliki informasi yang cukup untuk melakukan pemeriksaan silang. Jadi bukan tidak mungkin SPT yang wajar itu ditemukan kebohongannya melalui pemeriksaan silang tersebut.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

26 Juni 2009

Makanan Restoran Tidak Kena PPN

Sepertinya tidak sedikit orang yang menganggap bahwa makanan dan minuman di restoran itu dikenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Biasanya pajak tersebut dikenakan kepada pembeli saat mereka melakukan pembayaran di kasir. Umumnya jumlah pajak yang dikenakan dicantumkan di bagian paling bawah tanda terima pembayaran.

Tidak salah memang kalau membeli makanan dan minuman di restoran itu dikenakan pajak, tapi pajak yang dibayar itu bukan merupakan PPN. Orang yang menganggap pajak tersebut adalah PPN mungkin tertukar dengan pajak yang sama sekali. Pajak yang dimaksud adalah PPn (Pajak Penjualan) dan bukan PPN.

PPn adalah pajak yang diatur dalam UU (Undang-undang) Darurat Nomor 19 Tahun 1951 jo UU Nomor 35 Tahun 1953 (disebut UU PPn 1951). PPN diatur di dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah berkali-kali diubah terakhir dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 (disebut UU PPN 1984). UU PPN 1984 itu mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1985 untuk menggantikan UU PPn 1951.

Jadi pada dasarnya PPn itu sudah tidak berlaku lagi saat ini. Lalu apa yang dimaksud dengan PPn di atas? Sepertinya ini akibat dari ketidaktahuan akan perubahan jenis pajak. Jadi banyak orang yang menganggap PPn itu masih ada dan dikenakan ke objek-objek pajak seperti makanan dan minuman di restoran itu.

Padahal menurut ketentuan dalam UU PPN 1984 tersebut, makanan dan minuman di restoran, baik yang dimakan di tempat atau tidak, bukan termasuk objek pajak untuk PPN. Itu artinya makanan dan minuman di restoran itu tidak akan dikenakan PPN.

Tapi kenapa pembeli tetap dikenakan pajak? Pajak yang dikenakan itu adalah bagian dari pajak daerah yang diatur dalam Perda (Peraturan Daerah) masing-masing wilayah. Contohnya untuk wilayah DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta, peraturan daerah terkait adalah Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pajak Restoran.

Tarif Pajak Restoran dalam Perda tersebut sebesar 10%. Sepertinya hal ini juga ikut membuat banyak orang percaya bahwa PPN dikenakan terhadap makanan dan minuman di restoran karena PPN pun saat ini memiliki tarif yang sama, yaitu 10%.

Perlu diperhatikan juga bahwa kesamaan tarif itu bukan berarti masing-masing pajak terkait satu sama lain. Kedua jenis pajak itu, PPN dan Pajak Restoran, diatur oleh dua peraturan yang berbeda. Selain itu, PPN merupakan kewenangan pemerintah pusat sementara Pajak Restoran merupakan kewenganan pemerintah daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat.

Kesimpulan dari paparan di atas adalah makanan dan minuman di restoran tidak dikenakan PPN. Pajak yang dikenakan terhadap makanan dan minuman di restoran itu adalah Pajak Restoran dengan tarif 10%.

Orang Bijak Taat Pajak!

Referensi:
--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

23 Juni 2009

Iklan Pajak di Yahoo! Mail

Ternyata DJP (Direktorat Jenderal Pajak) punya ambisi besar untuk menyadarkan Warga Negara Indonesia akan kewajiban perpajakan mereka. Pagi ini saya menemukan salah satu bentuk kongkrit ambisi itu berupa sebuah iklan di dalam akun Yahoo! Mail saya. Snapshot dari iklan dalam format Adobe Flash itu saya tampilkan di bawah.


Judul iklannya mungkin seperti ini, "The attack of the space cowboy!"

Lucu? Lucu atau tidak lucu, semoga saja iklan ini dan semua iklan lainnya dari DJP tidak sia-sia.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

17 Juni 2009

Pajak Bumi dan Bangunan Dikelola Pemerintah Daerah

Saya sempat mendengar kabar yang tidak jelas asal-usulnya perihal pengalihan pengelolaan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) kepada Pemerintah Daerah. Seperti yang kita ketahui bersama pemasukan negara dari PBB dikelola oleh Pemerintah Pusat. Walaupun begitu, pemasukan tersebut pada akhirnya akan dibagikan kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten dengan porsi yang sudah ditentukan sebelumnya.

Pada saat tulisan ini dibuat, porsi Pemerintah Pusat dari PBB hanya 10% dari total pemasukan PBB. 10% itu pun diserahkan pula ke Pemerintah Daerah dengan porsi tertentu. Pada akhirnya Pemerintah Pusat tidak mendapatkan pemasukan untuk kas negara dari PBB.

Jadi saya tidak heran saat saya mendengar kabar pengalihan pengelolaan PBB di atas. Kenapa tidak? Pada dasarnya yang menerima pemasukan dari PBB hanya Pemerintah Daerah. Lalu kenapa Pemerintah Pusat harus terus-menerus mempertahankan kewajiban pengelolaan PBB itu sendiri?

Apalagi untuk PBB sektor pedesaan dan perkotaan. PBB dari kedua sektor tersebut seharusnya dapat dengan mudah diambil alih oleh Pemerintah Daerah yang wilayahnya bersesuaian. Untuk pengelolaan PBB sektor perkebunan, kehutanan, atau pertambangan mungkin tidak akan semudah kedua sektor di atas.

Terlepas dari itu semua, saya tidak sepenuhnya setuju dengan pengalihan pengelolaan tersebut. Alasan-alasan saya antara lain:
  • Citra instansi perpajakan akan sulit dikelola.
    DJP (Direktorat Jenderal Pajak) sudah susah payah membangun citra yang baik terhadap pegawai pajak. DJP pun sudah susah payah mempersiapkan prosedur pelayanan yang mudah tanpa pungutan tambahan. Apa jadinya kalau oknum Pemerintah Daerah ikut campur dalam pengelolaan PBB?
  • Akses informasi PBB semakin sulit.
    Seandainya saya tinggal di Tangerang dan memiliki rumah di Depok, saya harus ke Depok untuk bisa tahu jumlah PBB terutang untuk rumah tersebut. Harapan saya tentunya saya bisa tahu jumlah PBB terutang dari KPP mana pun di wilayah Indonesia ini. Kalau PBB dikelola Pemerintah Daerah, maka akses informasi PBB ini bisa dipastikan akan bersifat kewilayahan. Kemudahan akses informasi yang diharapkan akan pudar dengan sendirinya.
Saya pribadi belum mendapatkan informasi lebih lanjut tentang proses pengalihan pengelolaan PBB ini. Mungkin semua ini memang kabar burung semata. Seandainya ada informasi tambahan, saya mungkin dapat memberikan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai proses pengalihan ini.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

09 Juni 2009

Fiskus, Aparat atau Keparat?

Fiskus (aparat perpajakan) seharusnya bertugas melayani para WP (Wajib Pajak) yang ingin (dan wajib) melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan. Sayangnya praktik "mencari keuntungan sendiri" cukup marak di kalangan aparat perpajakan. Mereka adalah para aparat yang berlaku seperti keparat.

Saya teringat cerita-cerita pegawai senior yang pernah merasa malu mengakui bahwa mereka adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Bila ada yang bertanya mengenai pekerjaan mereka, mereka lebih memilih menjawab "PNS", "Depkeu", atau jawaban-jawaban lain selain "pajak".

Sepertinya banyak orang yang begitu mendengar pernyataan "saya bekerja di pajak" langsung menanggapi dengan "rasa kagum". Bekerja di pajak ibarat bekerja di tempat penanaman pohon uang sehingga mudah bagi pegawainya memperkaya diri. Sayangnya rasa kagum itu diiringi dengan cemoohan terselubung yang pada dasarnya bermaksud menghina para aparat perpajakan.

Untungnya -bagi beberapa orang mungkin lebih tepat "sialnya"- reformasi perpajakan telah menggerus kebiasaan buruk para keparat perpajakan tersebut. Harapannya tentu saja agar persepsi masyarakat terhadap aparat perpajakan membaik dan pelayanan pajak menjadi optimal. Dengan begitu diharapkan pula terjadi peningkatan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Selain itu juga bertujuan untuk menekan jumlah hak negara yang masuk kantong pribadi.

Pegawai-pegawai senior yang bercerita di atas mengakui bahwa saat ini mereka tidak lagi malu mengakui bahwa mereka bekerja sebagai aparat perpajakan. Mereka tidak perlu lagi mencari-cari alasan bila ada orang yang menanyakan pekerjaan mereka. Mereka bahkan bangga dengan fakta bahwa mereka bekerja sebagai aparat perpajakan.

Kabar baik ini tidak datang dari sisi aparat semata. Saya sempat membaca beberapa laporan positif di media surat kabar mengenai perbaikan kualitas pelayanan perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak memang memiliki determinasi yang kuat untuk memperbaiki citra mereka.

Semoga saja kebaikan ini akan terus bertahan. Sangat disayangkan bila kondisi perpajakan Indonesia saat ini kembali lagi ke masa-masa "tolong-menolong" antara aparat dan WP. Sangat disayangkan bila pemasukan negara dari pajak harus dipotong lagi oleh individu-individu tak bertanggung jawab.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

28 Mei 2009

PPN Penjualan Mobil Bekas Orang Pribadi

Seorang teman pernah bertanya mengenai jumlah PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang harus dilaporkan bila dia menjual mobil bekas. Pada saat itu jawaban yang saya berikan terbilang panjang dan cukup membingungkan. Di sini saya mencoba menyusun kembali jawaban saya.

Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa penjual yang melaporkan PPN (ini juga berarti menarik PPN dari pembeli) adalah penjual yang sudah dikukuhkan sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak). Jadi kalau Anda bertanya apakah Anda harus melaporkan dan menarik PPN dari pembeli, Anda perlu bertanya apakah Anda PKP atau bukan? Kalau Anda bukan PKP, Anda tidak perlu memikirkan PPN saat menjual mobil bekas Anda.

Kalau Anda sudah dikukuhkan menjadi PKP, peruntukan mobil bekas itu perlu diperhatikan sebelum Anda menarik PPN. Kalau mobil bekas itu adalah mobil pribadi, maka Anda tidak perlu khawatir tentang PPN. Konteks dari mobil pribadi adalah bagian dari harta seorang WP (Wajib Pajak). Kewajiban perpajakan seorang WP dalam hal ini tidak terkait pada PPN, tapi justru terkait dengan perubahan harta dari sebuah mobil menjadi sejumlah uang. WP tersebut cukup melaporkan hasil penjualan tersebut dalam laporan SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan.

Dalam kasus ini, Anda perlu memikirkan PPN kalau memang Anda adalah seorang PKP dan mobil bekas yang dijual itu adalah bagian dari usaha Anda. Dalam konteks ini, Anda perlu mempertimbangkan penyusutan yang berfungsi untuk menentukan harga jual mobil yang pantas. Setelah itu Anda dapat menghitung PPN dengan tarif khusus untuk kendaraan bermotor bekas.

Sayangnya saya belum bisa memberikan informasi lebih lanjut mengenai penghitungan PPN untuk kondisi tersebut. Tujuan untuk tulisan kali ini lebih kepada penegasan mengenai PPN untuk penjualan mobil bekas yang merupakan harta orang pribadi.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

26 Mei 2009

Tarif PPN Naik Menjadi 15%

Kemarin aku mendapat informasi dari situs berita Kontan Online yang berisi tentang kenaikan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Artikel lengkapnya dapat dibaca di sini: http://www.kontan.co.id/index.php/nasional/news/14179/Bukannya_Turun_Tarif_PPN_Naik. Inti dari berita itu adalah pemerintah akan menaikan tarif PPN menjadi 15%.

Kalau memang pemerintah akan menaikan tarif PPN, alasannya antara lain adalah untuk mengejar target penerimaan pajak. Sayangnya kenaikan tarif PPN ini kemungkinan besar akan berdampak buruk terhadap daya beli masyarakat.

Jadi kita dukung atau kita tolak?

Saya pribadi lebih cenderung ke arah penolakan namun sayangnya alasan saya belum berangkat lebih jauh dari dampak buruk terhadap daya beli masyarakat itu sendiri. Anjloknya daya beli masyarakat dapat mengakibatkan anjloknya pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Saya pribadi justru masih punya kekhawatiran bahwa kenaikan tarif perpajakan akan meningkatkan intensitas penghindaran pajak. Dengan tarif pajak yang "rendah" seperti sekarang saja saya yakin masih banyak oknum yang berhasil mengelabui aparat perpajakan. Apalagi sistem pemeriksaan pajak saat ini lebih berorientasi pada wajib pajak dengan sistem self-assessment.

Jadi bukan tidak mungkin kenaikan tarif pajak, baik itu PPN maupun bukan PPN, akan menjadi bumerang. Rencana meningkatkan penerimaan pajak justru berbalik memperbesar kesenjangan antara potensi perpajakan dan penerimaan pajak itu sendiri.

Salah seorang rekan aparat perpajakan (saya tidak bisa sebut namanya) juga mengindikasikan adanya kesan bahwa penerimaan negara dari pajak sangat dipaksakan. Pemerintah seolah-olah ingin memaksakan penerimaan pajak sampai ke titik maksimal. Padahal sumber penerimaan negara tidak hanya pajak. Ke mana perginya instansi pemerintah yang lain dalam menjalankan perannya mengamankan penerimaan negara?

Terlepas dari itu semua, kenaikan tarif PPN ini masih menjadi wacana. Saya sendiri belum mendapat informasi tambahan mengenai target waktu penerapan rencana tersebut. Semoga saja pemerintah dan wakil rakyat kita dapat berkolaborasi untuk menemukan solusi yang paling baik.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

23 Mei 2009

Unik Tapi Tidak Tunggal

Sejak pertama kali aku mendaftarkan NPWP, aku selalu mengira bahwa NPWP yang aku miliki tidak mungkin dimiliki orang lain. Persepsi pertama terhadap NPWP adalah NPWP itu bersifat unik. Bahkan aku sempat berpikir bahwa NPWP itu dapat dijadikan fondasi menuju Nomor Identitas Tunggal (Single Identity Number).

Saat ini persepsi itu sudah berubah. Setelah aku mendapat kesempatan mengenal NPWP lebih dalam, aku mulai menyadari kesalahan dalam pemahamanku. NPWP itu memang pada dasarnya dimiliki oleh sebuah entitas. Tapi yang dimaksud entitas itu adalah entitas inti dan turunannya. Dalam kasus badan, NPWP itu mewakili pusat usaha dan cabang-cabangnya. Untuk OP (Orang Pribadi), NPWP itu mewakili seorang suami beserta istri dan tanggungan-tanggungannya.

Sebenarnya kondisi di atas tidak menafikan fakta bahwa NPWP itu bersifat unik. Pada kondisi di atas, NPWP itu tetap mewakili satu entitas. Laporan SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan untuk seorang OP cukup dilaporkan oleh suami. Penghasilan istri dan tanggungan-tanggungan dapat dilaporkan pada SPT Tahunan yang sama oleh suami.

Sayangnya kondisi di lapangan tidak seperti itu. Laporan NPWP ganda tidak sedikit. Ada satu entitas yang memiliki lebih dari satu NPWP. Ada satu NPWP yang dimiliki oleh lebih dari satu entitas. Sifat unik NPWP pun akhirnya menjadi meragukan. Walaupun begitu kondisi ini masih tertolong. Entitas yang memiliki lebih dari satu NPWP dapat mengajukan penghapusan NPWP. Bahkan aparat perpajakan bisa menghapus NPWP seseorang tanpa diminta bila NPWP tersebut dapat dipastikan tidak aktif.

Sementara untuk NPWP yang dimiliki oleh lebih dari satu entitas umumnya melibatkan beberapa KPP (Kantor Pelayanan Pajak). Perlu diketahui bahwa NPWP itu adalah kombinasi dari 9 angka unik ditambah 3 digit kode KPP dan 3 digit kode pembeda entitas. Jadi kasus NPWP yang dimiliki oleh lebih dari satu entitas itu biasanya dimiliki oleh entitas-entitas yang terdaftar lewat KPP yang berbeda.

Unik tapi tidak tunggal. Setiap satu individu dapat ditemukan -tidak selalu dengan mudah- lewat NPWP yang dimilikinya. Tapi sifat unik NPWP ini belum sepenuhnya diterapkan dengan baik sehingga menimbulkan resiko munculnya NPWP ganda.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

16 Mei 2009

Tentang Blog Ini

Ada banyak situs lain yang mampu memberikan informasi komprehensif tentang perpajakan. Lalu untuk apa ada blog ini ingin membicarakan pajak? Alasannya sangat subjektif. Blog ini hadir sebagai sarana untuk berbagi pandangan subjektif mengenai berbagai hal tentang pajak.

Ada banyak hal yang dapat dituangkan dalam blog ini karena pajak itu sendiri masih bersifat dinamis. Pembaharuan di bidang perpajakan senantiasa berjalan. Peraturan berubah, tata cara berubah, kondisi aparat perpajakan berubah, persepsi wajib pajak berubah, dan banyak perubahan lain yang pada akhirnya dapat dituliskan di blog ini.

Sebagai salah seorang aparat perpajakan, penulis berharap dengan menulis tema-tema perpajakan ini penulis terpacu untuk senantiasa mengasah wawasan perpajakannya. Penulis berharap dapat menemukan tema-tema yang menarik untuk dibahas dan pada akhirnya memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca.