29 April 2010

Menikah di Awal Tahun

Baru saja saya membaca kembali peraturan mengenai PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yang tercantum dalam UU (Undang-Undang) Nomor 36 Tahun 2008. Perhatian saya tertuju pada isi pasal 7 ayat (2), yaitu:
Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
Ayat (1) yang dimaksud itu berisi ketentuan mengenai jumlah PTKP.

Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008 itu secara tidak langsung mengatakan bahwa setiap perubahan status untuk perhitungan PTKP, seperti pernikahan atau penambahan jumlah anak, akan ditentukan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Misalkan seorang pria menikah pada bulan Juni 2010, maka pria itu baru dianggap menikah (dari sudut pandang PTKP) pada bulan Januari 2011.

Contoh di atas sebenarnya lumrah saja. Tidak mungkin kita mengharapkan setiap WP (Wajib Pajak) untuk menikah di awal tahun saja atau memiliki anak di awal tahun saja. Kalau itu terjadi, tingkat penyewaan gedung akan membludak di bulan Januari. Mungkin saja ada yang harus rela mengadakan resepsi di rumah atau bahkan sekalian saja ikut nikah masal. Hal yang sama dengan kelahiran. Jumlah penduduk akan meningkat tajam di setiap bulan Januari mengiringi meningkatnya pemasukan para bidan dan rumah sakit bersalin.

Hanya saja bagi para karyawan, peraturan ini sebenarnya agak merugikan. Penyebabnya adalah karena Anda tidak akan mendapatkan kenaikan PTKP sampai awal tahun berikutnya. Walaupun ada penambahan jumlah tunjangan (akibat penambahan tanggungan), tidak akan ada kenaikan di jumlah PTKP untuk karyawan terkait. Ini yang saya maksud dengan "agak merugikan".

Jadi untuk contoh di atas, pria yang menikah di bulan Juni 2010 akan mendapat pengurangan berupa PTKP sejumlah Rp. 15.840.000. Padahal seharusnya dia mendapat PTKP sejumlah Rp. 17.160.000. Untuk mendapatkan PTKP dengan jumlah 17.160.000 itu, dia harus menunggu sampai Januari 2011. Secara garis besar nominalnya mungkin tidak terlalu besar, tetapi tetap saja merugikan WP.

Terlepas dari kerugian itu, penghitungan pajak PPh 21 untuk kasus ini akan terlihat tidak sesuai dengan aturan terkait. PPh 21 adalah pajak yang dipotong oleh pihak lain; biasanya dipotong oleh pemberi kerja. Untuk perusahaan yang memberlakukan sistem tunjangan keluarga, karyawan yang baru menikah kemungkinan besar akan segera mengajukan permintaan untuk tunjangan istri. Segera setelah mendapatkan tunjangan istri, pemberi kerja akan menghitung pajak karyawan itu sesuai status terbarunya. Padahal aturan yang berlaku mengatakan perubahan PTKP hanya dapat dilakukan di awal tahun pajak (atau awal bagian tahun pajak). Ini yang saya maksud dengan "penghitungan pajak yang tidak sesuai aturan".

Misalkan karyawan yang menikah di bulan Juni 2010 akan mendapat tunjangan istri di bulan berikutnya, maka di bulan Juli 2010 -berdasarkan aturan yang berlaku- karyawan ini tetap akan mendapatkan PTKP untuk status TK/0 (Tidak Kawin); bukan PTKP untuk status K/0 (Kawin). Tapi kenyataannya pemberi kerja kemungkinan akan menghitung pajak karyawan itu dengan PTKP untuk status K/0. Karyawan terkait justru dapat dikatakan "agak beruntung" karena PTKP-nya bertambah seiring dengan bertambahnya tunjangan.

Saya sendiri baru melakukan konfirmasi ke beberapa pihak mengenai pelaksanaan perubahan PTKP ini. Hanya saja saya justru menduga kenyataannya akan seperti contoh di atas. PTKP akan dinaikan seiring dengan naiknya tunjangan keluarga dalam perhitungan PPh 21 para karyawan. Alasannya mungkin sekedar tidak tahu atau tidak memahami aturan terkait. Terlepas dari itu, saya justru penasaran bagaimana DJP (Ditjen Pajak) menyikapi lubang kecil di UU Nomor 36 Tahun 2008 ini. Mungkin saja lubang ini luput dari perhatian, mungkin memang tidak diperhatikan, atau justru akan diperbaiki dalam perubahan UU berikutnya.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)