26 Juni 2009

Makanan Restoran Tidak Kena PPN

Sepertinya tidak sedikit orang yang menganggap bahwa makanan dan minuman di restoran itu dikenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Biasanya pajak tersebut dikenakan kepada pembeli saat mereka melakukan pembayaran di kasir. Umumnya jumlah pajak yang dikenakan dicantumkan di bagian paling bawah tanda terima pembayaran.

Tidak salah memang kalau membeli makanan dan minuman di restoran itu dikenakan pajak, tapi pajak yang dibayar itu bukan merupakan PPN. Orang yang menganggap pajak tersebut adalah PPN mungkin tertukar dengan pajak yang sama sekali. Pajak yang dimaksud adalah PPn (Pajak Penjualan) dan bukan PPN.

PPn adalah pajak yang diatur dalam UU (Undang-undang) Darurat Nomor 19 Tahun 1951 jo UU Nomor 35 Tahun 1953 (disebut UU PPn 1951). PPN diatur di dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah berkali-kali diubah terakhir dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 (disebut UU PPN 1984). UU PPN 1984 itu mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1985 untuk menggantikan UU PPn 1951.

Jadi pada dasarnya PPn itu sudah tidak berlaku lagi saat ini. Lalu apa yang dimaksud dengan PPn di atas? Sepertinya ini akibat dari ketidaktahuan akan perubahan jenis pajak. Jadi banyak orang yang menganggap PPn itu masih ada dan dikenakan ke objek-objek pajak seperti makanan dan minuman di restoran itu.

Padahal menurut ketentuan dalam UU PPN 1984 tersebut, makanan dan minuman di restoran, baik yang dimakan di tempat atau tidak, bukan termasuk objek pajak untuk PPN. Itu artinya makanan dan minuman di restoran itu tidak akan dikenakan PPN.

Tapi kenapa pembeli tetap dikenakan pajak? Pajak yang dikenakan itu adalah bagian dari pajak daerah yang diatur dalam Perda (Peraturan Daerah) masing-masing wilayah. Contohnya untuk wilayah DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta, peraturan daerah terkait adalah Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pajak Restoran.

Tarif Pajak Restoran dalam Perda tersebut sebesar 10%. Sepertinya hal ini juga ikut membuat banyak orang percaya bahwa PPN dikenakan terhadap makanan dan minuman di restoran karena PPN pun saat ini memiliki tarif yang sama, yaitu 10%.

Perlu diperhatikan juga bahwa kesamaan tarif itu bukan berarti masing-masing pajak terkait satu sama lain. Kedua jenis pajak itu, PPN dan Pajak Restoran, diatur oleh dua peraturan yang berbeda. Selain itu, PPN merupakan kewenangan pemerintah pusat sementara Pajak Restoran merupakan kewenganan pemerintah daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat.

Kesimpulan dari paparan di atas adalah makanan dan minuman di restoran tidak dikenakan PPN. Pajak yang dikenakan terhadap makanan dan minuman di restoran itu adalah Pajak Restoran dengan tarif 10%.

Orang Bijak Taat Pajak!

Referensi:
--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

23 Juni 2009

Iklan Pajak di Yahoo! Mail

Ternyata DJP (Direktorat Jenderal Pajak) punya ambisi besar untuk menyadarkan Warga Negara Indonesia akan kewajiban perpajakan mereka. Pagi ini saya menemukan salah satu bentuk kongkrit ambisi itu berupa sebuah iklan di dalam akun Yahoo! Mail saya. Snapshot dari iklan dalam format Adobe Flash itu saya tampilkan di bawah.


Judul iklannya mungkin seperti ini, "The attack of the space cowboy!"

Lucu? Lucu atau tidak lucu, semoga saja iklan ini dan semua iklan lainnya dari DJP tidak sia-sia.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

17 Juni 2009

Pajak Bumi dan Bangunan Dikelola Pemerintah Daerah

Saya sempat mendengar kabar yang tidak jelas asal-usulnya perihal pengalihan pengelolaan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) kepada Pemerintah Daerah. Seperti yang kita ketahui bersama pemasukan negara dari PBB dikelola oleh Pemerintah Pusat. Walaupun begitu, pemasukan tersebut pada akhirnya akan dibagikan kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten dengan porsi yang sudah ditentukan sebelumnya.

Pada saat tulisan ini dibuat, porsi Pemerintah Pusat dari PBB hanya 10% dari total pemasukan PBB. 10% itu pun diserahkan pula ke Pemerintah Daerah dengan porsi tertentu. Pada akhirnya Pemerintah Pusat tidak mendapatkan pemasukan untuk kas negara dari PBB.

Jadi saya tidak heran saat saya mendengar kabar pengalihan pengelolaan PBB di atas. Kenapa tidak? Pada dasarnya yang menerima pemasukan dari PBB hanya Pemerintah Daerah. Lalu kenapa Pemerintah Pusat harus terus-menerus mempertahankan kewajiban pengelolaan PBB itu sendiri?

Apalagi untuk PBB sektor pedesaan dan perkotaan. PBB dari kedua sektor tersebut seharusnya dapat dengan mudah diambil alih oleh Pemerintah Daerah yang wilayahnya bersesuaian. Untuk pengelolaan PBB sektor perkebunan, kehutanan, atau pertambangan mungkin tidak akan semudah kedua sektor di atas.

Terlepas dari itu semua, saya tidak sepenuhnya setuju dengan pengalihan pengelolaan tersebut. Alasan-alasan saya antara lain:
  • Citra instansi perpajakan akan sulit dikelola.
    DJP (Direktorat Jenderal Pajak) sudah susah payah membangun citra yang baik terhadap pegawai pajak. DJP pun sudah susah payah mempersiapkan prosedur pelayanan yang mudah tanpa pungutan tambahan. Apa jadinya kalau oknum Pemerintah Daerah ikut campur dalam pengelolaan PBB?
  • Akses informasi PBB semakin sulit.
    Seandainya saya tinggal di Tangerang dan memiliki rumah di Depok, saya harus ke Depok untuk bisa tahu jumlah PBB terutang untuk rumah tersebut. Harapan saya tentunya saya bisa tahu jumlah PBB terutang dari KPP mana pun di wilayah Indonesia ini. Kalau PBB dikelola Pemerintah Daerah, maka akses informasi PBB ini bisa dipastikan akan bersifat kewilayahan. Kemudahan akses informasi yang diharapkan akan pudar dengan sendirinya.
Saya pribadi belum mendapatkan informasi lebih lanjut tentang proses pengalihan pengelolaan PBB ini. Mungkin semua ini memang kabar burung semata. Seandainya ada informasi tambahan, saya mungkin dapat memberikan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai proses pengalihan ini.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

09 Juni 2009

Fiskus, Aparat atau Keparat?

Fiskus (aparat perpajakan) seharusnya bertugas melayani para WP (Wajib Pajak) yang ingin (dan wajib) melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan. Sayangnya praktik "mencari keuntungan sendiri" cukup marak di kalangan aparat perpajakan. Mereka adalah para aparat yang berlaku seperti keparat.

Saya teringat cerita-cerita pegawai senior yang pernah merasa malu mengakui bahwa mereka adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Bila ada yang bertanya mengenai pekerjaan mereka, mereka lebih memilih menjawab "PNS", "Depkeu", atau jawaban-jawaban lain selain "pajak".

Sepertinya banyak orang yang begitu mendengar pernyataan "saya bekerja di pajak" langsung menanggapi dengan "rasa kagum". Bekerja di pajak ibarat bekerja di tempat penanaman pohon uang sehingga mudah bagi pegawainya memperkaya diri. Sayangnya rasa kagum itu diiringi dengan cemoohan terselubung yang pada dasarnya bermaksud menghina para aparat perpajakan.

Untungnya -bagi beberapa orang mungkin lebih tepat "sialnya"- reformasi perpajakan telah menggerus kebiasaan buruk para keparat perpajakan tersebut. Harapannya tentu saja agar persepsi masyarakat terhadap aparat perpajakan membaik dan pelayanan pajak menjadi optimal. Dengan begitu diharapkan pula terjadi peningkatan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Selain itu juga bertujuan untuk menekan jumlah hak negara yang masuk kantong pribadi.

Pegawai-pegawai senior yang bercerita di atas mengakui bahwa saat ini mereka tidak lagi malu mengakui bahwa mereka bekerja sebagai aparat perpajakan. Mereka tidak perlu lagi mencari-cari alasan bila ada orang yang menanyakan pekerjaan mereka. Mereka bahkan bangga dengan fakta bahwa mereka bekerja sebagai aparat perpajakan.

Kabar baik ini tidak datang dari sisi aparat semata. Saya sempat membaca beberapa laporan positif di media surat kabar mengenai perbaikan kualitas pelayanan perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak memang memiliki determinasi yang kuat untuk memperbaiki citra mereka.

Semoga saja kebaikan ini akan terus bertahan. Sangat disayangkan bila kondisi perpajakan Indonesia saat ini kembali lagi ke masa-masa "tolong-menolong" antara aparat dan WP. Sangat disayangkan bila pemasukan negara dari pajak harus dipotong lagi oleh individu-individu tak bertanggung jawab.

Orang Bijak Taat Pajak!

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)