29 Maret 2010

Menjawab Opini Miring Di Balik Gayus Tambunan

Ada sekian banyak opini miring yang timbul akibat terkuaknya dugaan penggelapan pajak oleh salah seorang pegawai DJP (Direktorat Jenderal Pajak) yang dikenal dengan nama Gayus Tambunan. Melalui tulisan ini, penulis mengajak para pembaca untuk melihat lebih jauh dibalik opini-opini tersebut.
  1. DJP hanya berisi orang-orang "nakal".
    Kesalahan utama munculnya opini ini adalah kurangnya sampel. Kalau kita menemukan fakta bahwa Gayus Tambunan itu impoten, apakah kita akan mengatakan bahwa para pegawai pria di DJP itu impoten? Saat kita ingin mengambil kesimpulan yang bersifat umum, kita perlu menunjangnya dengan bukti yang representatif.
  2. Pajak hanya digunakan untuk memperkaya pegawai-pegawai DJP.
    Lagi-lagi cara penarikan kesimpulan yang salah. Berapa banyak pegawai DJP yang "kaya"? Dari sekian banyak pegawai DJP yang kaya itu, berapa banyak yang mendapatkannya dengan cara ilegal? Dari sekian banyak pegawai yang mendapatkan hartanya dengan cara ilegal, berapa yang dibiarkan bebas begitu saja?
  3. Bayar pajak sia-sia.
    Kenapa bisa dikatakan sia-sia? Mayoritas pemasukan APBN (Anggaran Pemasukan dan Belanja Negara) bersumber dari pajak. Pemerintah berjalan dengan modal pajak. Sarana dan prasarana publik pun pada akhirnya dibiayai dengan pajak. Untuk saya pribadi, membayar pajak itu menjadi sia-sia kalau saya tidak pernah membeli bensin Premium (bahan bakar bersubsidi), tidak pernah menggunakan listrik, tidak pernah mengendarai kendaraan di jalanan umum yang beraspal, atau tidak pernah menggunakan fasilitas umum apapun; semua saya bayar secara mandiri. Untuk Anda bagaimana?
  4. Reformasi birokrasi DJP gagal.
    Keberhasilan itu bukan berarti tidak pernah membuat kesalahan. Keberhasilan itu berarti memperbaiki kesalahan dan terus melangkah maju. Kalau dengan satu kesalahan langsung disimpulkan bahwa sesuatu itu gagal, berarti tidak pernah ada orang yang berhasil melakukan apa pun di dunia ini. Gayus Tambunan adalah potret sebuah kesalahan, sebuah blunder, tapi bukan serta merta mencerminkan kegagalan reformasi birokrasi di DJP.
  5. Remunerasi di DJP (Departemen Keuangan) sia-sia.
    Kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan fisiologis, yaitu sandang, pangan, dan papan. Di dunia materialistis seperti dunia kita saat ini, kebutuhan fisiologis itu sama dengan UANG. Kenyataannya, kekurangan UANG sering berujung pada kejahatan. Di sini peran remunerasi itu. Tingginya remunerasi mungkin tidak mencegah orang-orang seperti Gayus Tambunan untuk terus memperkaya diri dengan cara yang ilegal. Akan tetapi, remunerasi ini justru berperan besar untuk mencegah munculnya lebih banyak orang seperti Gayus Tambunan.
  6. Penulis ini sok tahu, sok bijak, dan sok-sok lainnya.
    Untuk yang ini saya tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.
Mungkin masih banyak opini miring lain yang belum terjawab, tapi secara keseluruhan semuanya bermuara pada hal yang sama. Setiap opini miring itu muncul dari cara mengambil kesimpulan yang salah, kesalahpahaman terhadap berbagai aspek perpajakan, atau sekedar komentar penuh kebencian terhadap pajak.

Kenyataannya, wajib pajak menyetorkan uangnya lewat kantor pos atau bank rekanan. Dari situ, uang wajib pajak langsung masuk ke kas negara. Kas negara bukan dikelola oleh DJP. Peluang "nilep" uang yang disetor wajib pajak itu sangat kecil. Cara pegawai pajak untuk memperkaya diri dengan cara ilegal pada hakikatnya adalah dengan memanipulasi informasi, yaitu dengan memanipulasi jumlah pajak yang wajib disetor oleh wajib pajak dengan mendapat "honor" terpisah.

Misalnya saya memiliki kewajiban membayar pajak 100juta, kemudian saya mencari cara agar nominal itu berubah menjadi 50juta. Di sini peluang seorang pegawai pajak untuk mendapat "sampingan" selain gajinya. Saya bisa saja meminta bantuan seorang pegawai pajak tertentu untuk memanipulasi data perpajakan saya sehingga saya hanya wajib membayar pajak sebesar 50juta. Pegawai pajak ini saya janjikan honor sebesar 25juta. Kalau tipuan ini berhasil, saya setor pajak lewat bank sebesar 50juta dan transfer uang 25juta ke rekening pribadi pegawai pajak yang membantu saya.

Kemungkinan lain adalah dengan terlibatnya konsultan pajak. Saya bisa jadi terima bersih bahwa uang yang perlu saya keluarkan hanya 75juta. Bagaimana caranya saya serahkan kepada konsultan pajak yang saya pekerjakan. Jadi konsultan pajak ini yang bekerja sama dengan pegawai pajak untuk memanipulasi data perpajakan saya. Hasilnya mungkin sama seperti di atas, tapi honor 25juta harus dibagi antara pegawai pajak dan konsultan pajak.

Ini baru sebagian kecil modus penggelapan pajak yang melibatkan wajib pajak, konsultan pajak, dan pegawai pajak. Saya yang bandel karena tidak mau membayar pajak sesuai kewajiban. Konsultan pajak saya pun bandel karena mau saja menuruti keinginan saya. Pegawai pajaknya pun bandel karena bukannya menegakan kebenaran layaknya Ksatria Baja Hitam, dia malah berpihak kepada kebandelan.

Kalau kita cermati ilustrasi di atas, saya (wajib pajak) hanya menyetor pajak sebesar 50juta. Sementara konsultan pajak dan pegawai pajak itu mendapat honor diluar uang pajak yang saya setor. Kecil kemungkinannya pegawai pajak itu akan "nilep" uang dari 50juta tersebut. Kemudian seandainya saya mau menyetor 100juta apa adanya, bagaimana pegawai pajak itu akan mendapatkan honornya? Nol besar.

Ada banyak pihak yang harus di-"kemplang" karena penggelapan pajak dan pihak-pihak itu bukan hanya oknum pegawai pajak yang terkait. Terlepas dari itu semua, kalaupun memang ada uang yang di-"tilep" pegawai pajak, uang itu bukan dari uang pajak yang Anda setor.

Orang Bijak Taat Pajak!

Kalau memang Anda tidak mau patuh membayar pajak, jangan jadikan Gayus Tambunan atau kasus-kasus lain sebagai pembenaran.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/document/bNNSS_s3/MenjawabOpiniMiringDiBalikGayu.html

3 komentar:

  1. Sample kami bukan hanya Gayus Tambunan, lah itu satu team Gayus sampai atas-atasnya juga terlibat ujung-ujungnya. Bahasjim bagaimana? Juga banyak kisah-kisah tetangga yang orang Pajak (saya mengalami sendiri).

    Analogi impoten anda sangat konyol dan kekanak-kanakan, apa relevansi penyakit dengan mental institusi? Anak ITB pintar-pintar tapi ada pencilan yang tidak, jaksa dan polisi doyan duit tapi ada pencilan yang tidak, guru-guru SD itu pahlawan tanpa tanda jasa tapi ada yang tidak.

    maaf, di mata masyarakat korps anda dkk sudah terbentuk dari apa yang kalian tunjukan. apa pun defensif anda :).

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas komentarnya.

    Pandangan masyarakat negatif itu yang sedang dikikis sedikit demi sedikit oleh orang-orang bersih di DJP.

    BalasHapus
  3. "Uang Setan dimakan setan"
    Kronologis :
    Penipu Laporan Pajak = SETAN, setelah dicurigai lalu diperiksa oleh petugas pajak ditemukan kebohongan dari jumlah yang seharusnya disetor kepada negara melalui BANK atau KANTOR POS. Lalu si SETAN menggunakan kemampuan uangnya untuk menyogok petugas pajak SETAN sehingga pajaknya tidak diperbaiki sebagaimana mestinya. Jadilah istilah "uang SETAN dimakan SETAN".

    Fakta di lapangan seiring adanya kasus gayus:
    1.Seorang pembeli sayur yang seorang PNS berseragam mengatakan "ngapain bayar pajak, cuma buat bikin kaya orang pajak". dan apa yg saya dengar berikutnya sangat mengejutkan. Ibu penjual sayur berkata "ya makanya bayar pajaknya ke bank om, jangan sama orang pajaknya".
    Bisa dibayangkan betapa gelinya saya waktu itu. seorang Pegawai Negeri Sipil, yang setiap bulannya dapat penghasilan yang uangnya berasal dari Pajak, dengan tidak tahu malunya bicara seperti itu.
    2.dari beberapa kejadian seperti itu dapat saya simpulkan seperti pepatah "Tong Kosong Nyaring Bunyinya". Orang-orang yang paling keras menyuarakan "STOP MEMBAYAR PAJAK" adalah salah satu dari SETAN penipu pajak, dan yg lain adalah orang-orang yang sama sekali tidak pernah melaporkan pajak ataupun membayar pajak. Dapat saya katakan mereka itu orang yang "TIDAK TAHU MALU". Kenapa saya bicara begitu?? Karena dalam agama,pendidikan,dan pengalaman saya mengatakan demikian :
    - Agama : Lakukan kewajiban sesuai ajaran agama dahulu barulah minta hakmu untuk masuk surga.

    - Pendidikan (PMP,PPKN,PKN) : Dahulukan Kewajiban baru minta Hak.

    - dan Pengalaman bilang : "Dasar Tak tahu malu, kewajiban aja ga pernah lu jalanin mau minta Hak aja. NGACA...!!!!

    Saya rasa Orang yang bisa buka link ini pasti bukan orang BODOH. Jadi pasti bisa menyimpulkan sendiri.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.