Akhirnya DJP1 (Direktur Jenderal Pajak) pengganti Bapak Darmin Nasution terpilih. Pengganti beliau adalah Bapak Muhammad Tjiptardjo yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Intelijen dan Penyidikan DJP (Direktorat Jenderal Pajak).
Kalau kita bicara pimpinan baru, tentunya kita akan bicara kebijakan baru. Saya adalah satu dari sekian banyak orang yang menunggu kebijakan-kebijakan baru dari DJP1 terpilih. Kebijakan-kebijakan baru ini tentunya akan mempengaruhi banyak pihak baik internal maupun eksternal DJP.
Bagi diri saya, kebijakan yang paling utama untuk diperhatikan adalah kebijakan yang terkait dengan modernisasi perpajakan. Menurut saya modernisasi perpajakan adalah hal yang paling krusial untuk dipertahankan dan terus ditingkatkan untuk mempertahankan citra baik instansi DJP dan kepatuhan WP (Wajib Pajak).
Seandainya kondisi administrasi perpajakan kembali ke kondisi yang sulit -atau mudah tapi mahal- maka DJP sudah berjalan mundur. Citra baik instansi DJP akan menurun dan kemungkinan besar kepatuhan WP pun ikut menurun.
Hal lain yang penting bagi saya adalah masalah tunjangan, tapi saya rasa hal ini tidak relevan bila dikaitkan langsung dengan DJP1 karena ketentuan tunjangan ini terkait erat dengan kebijakan di tingkat Departemen Keuangan. Lagipula sepertinya tidak relevan untuk dibicarakan dalam blog ini.
Orang Bijak Taat Pajak!
* Gambar diambil dari http://www.pajak.go.id/
--
Amir Syafrudin
Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)
28 Juli 2009
17 Juli 2009
Iklan Pajak Kedua di Yahoo! Mail
Untuk kedua kalinya saya memergoki iklan pajak di Yahoo! Mail. Bulan lalu, tepatnya tanggal 23 Juni, saya juga sempat menemukan iklan pajak saat saya membuka akun Yahoo! Mail saya. Iklan kali ini tidak lagi menampilkan space cowboy, tapi justru menampilkan maskot DJP (Direktorat Jenderal Pajak) yang siap berlibur. Cuplikan iklan tersebut dapat dilihat di bawah.
Tema iklan yang saya temukan kali ini sepertinya tidak jauh berbeda dengan iklan sebelumnya. Iklan kali ini juga bermaksud menganjurkan para WP (Wajib Pajak) yang belum melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan) Tahun 2008 untuk segera melaporkannya paling lambat tanggal 31 Desember 2009. Pihak DJP sengaja menghapuskan denda keterlambatan pelaporan SPT untuk tahun ini.
DJP sudah beberapa kali memberikan "pengampunan" dengan harapan kepatuhan para WP dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dapat terus ditingkatkan. Sepertinya tidak sedikit WP yang belum menyadari kewajiban perpajakannya. Jadi pengampunan seperti ini diharapkan dapat menghilangkan rasa takut para WP tersebut untuk mulai berinteraksi dengan dunia perpajakan. Melihat begitu banyak WP dalam kondisi seperti ini maka bukan tidak mungkin akan ada bentuk pengampuan lain di masa depan.
Orang Bijak Taat Pajak!
--
Amir Syafrudin
Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)
Tema iklan yang saya temukan kali ini sepertinya tidak jauh berbeda dengan iklan sebelumnya. Iklan kali ini juga bermaksud menganjurkan para WP (Wajib Pajak) yang belum melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan) Tahun 2008 untuk segera melaporkannya paling lambat tanggal 31 Desember 2009. Pihak DJP sengaja menghapuskan denda keterlambatan pelaporan SPT untuk tahun ini.
DJP sudah beberapa kali memberikan "pengampunan" dengan harapan kepatuhan para WP dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dapat terus ditingkatkan. Sepertinya tidak sedikit WP yang belum menyadari kewajiban perpajakannya. Jadi pengampunan seperti ini diharapkan dapat menghilangkan rasa takut para WP tersebut untuk mulai berinteraksi dengan dunia perpajakan. Melihat begitu banyak WP dalam kondisi seperti ini maka bukan tidak mungkin akan ada bentuk pengampuan lain di masa depan.
Orang Bijak Taat Pajak!
--
Amir Syafrudin
Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)
03 Juli 2009
SPT Tidak Harus Benar
Menindaklanjuti masukan dari salah seorang pemberi komentar, tulisan ini tidak lagi saya tampilkan.Mohon maaf sebelumnya bila kondisi ini mengakibatkan ketidaknyamanan. Untuk tulisan-tulisan yang terkait dengan SPT (Surat Pemberitahuan), silakan kunjungi link ini.
SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan pajak tidak harus benar. Yang dimaksud dengan tidak harus benar ini adalah karena pada dasarnya yang dinilai dari SPT adalah kewajarannya. Bila SPT dianggap tidak wajar, maka ada kemungkinan dilakukan pemeriksaan pajak terhadap WP (Wajib Pajak) terkait.
Saya rasa perbedaan benar dan wajar sudah cukup jelas. Kalau Anda melaporkan SPT sesuai kondisi sebenarnya, maka SPT Anda sudah benar. Tapi isi dari SPT Anda itu akan menentukan wajar atau tidaknya. Elemen-elemen dalam SPT Anda yang akan menentukan apakah SPT itu wajar atau tidak.
Misalnya dalam konteks OP (Orang Pribadi), kewajaran SPT akan dinilai dengan membandingkan jumlah penghasilan seseorang dengan jumlah harta atau kewajiban dari OP tersebut. Dalam konteks Badan (Perusahaan dan sejenisnya), kewajaran SPT akan dinilai melalui laporan keuangan Badan tersebut.
Pelaksanaan pemeriksaan pajak yang saya sebutkan di atas akhirnya ditentukan oleh hasil penilaian terhadap kewajaran sebuah SPT. Sebuah SPT yang benar pada dasarnya adalah SPT yang isinya dianggap wajar. Sebaliknya SPT yang tidak benar pada dasarnya adalah SPT yang isinya dianggap tidak wajar.
Yang menjadi pertanyaan adalah apa acuan yang dapat digunakan untuk mengetahui apakah SPT itu wajar atau tidak? Bagaimana caranya agar kita dapat tahu bahwa SPT yang kita serahkan tidak akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan pajak? Apa yang perlu kita lakukan agar penyerahan SPT tidak malah membuat kita was-was?
Ada banyak konsultan pajak yang hadir untuk menjawab semua pertanyaan itu. WP Badan pada umumnya menyewa jasa konsultan pajak untuk mengurus masalah perpajakannya. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa konsultan pajak itu "mengatur" masalah perpajakan klien-kliennya. Saya yakin para konsultan pajak itu lebih tahu definisi wajar dari SPT klien-klien mereka.
Sementara untuk WP OP, ada beberapa hal dasar yang menurut saya perlu diperhatikan untuk menjaga kewajaran SPT. Pertama adalah keseimbangan. WP OP akan melaporkan jumlah penghasilan, harta, dan kewajiban. Ketimpangan pada elemen-elemen ini dapat menimbulkan anggapan ketidakwajaran. Kedua adalah kesinambungan. Jumlah penghasilan, harta, dan kewajiban yang dilaporkan setiap tahun dapat digunakan untuk menilai kewajaran SPT. Perubahan yang drastis antara satu tahun dengan tahun yang lainnya dapat menimbulkan anggapan ketidakwajaran.
Oleh karena itu sebaiknya WP OP membiasakan membuat arsip SPT yang dilaporkannya. Dengan begitu saat waktu pelaporan SPT Tahunan tiba, WP OP tersebut dapat melihat kembali arsip SPT tahun-tahun sebelumnya. Paling tidak jumlah harta dan kewajiban yang dilaporkan di tahun-tahun sebelumnya dapat dengan mudah dilihat kembali.
Intinya adalah kebenaran SPT dinilai dari kewajarannya. Walaupun begitu, tulisan ini tidak bermaksud mendorong WP untuk "mengatur" isi SPT yang dilaporkannya. Perlu diperhatikan bahwa pemeriksaan pajak tidak hanya dilakukan karena ada SPT yang tidak wajar. Ada kalanya pemeriksaan pajak tetap dilakukan untuk menguji kejujuran WP itu sendiri. Apalagi DJP (Direktorat Jenderal Pajak) memiliki informasi yang cukup untuk melakukan pemeriksaan silang. Jadi bukan tidak mungkin SPT yang wajar itu ditemukan kebohongannya melalui pemeriksaan silang tersebut.
Orang Bijak Taat Pajak!
--
Amir Syafrudin
Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)
Saya rasa perbedaan benar dan wajar sudah cukup jelas. Kalau Anda melaporkan SPT sesuai kondisi sebenarnya, maka SPT Anda sudah benar. Tapi isi dari SPT Anda itu akan menentukan wajar atau tidaknya. Elemen-elemen dalam SPT Anda yang akan menentukan apakah SPT itu wajar atau tidak.
Misalnya dalam konteks OP (Orang Pribadi), kewajaran SPT akan dinilai dengan membandingkan jumlah penghasilan seseorang dengan jumlah harta atau kewajiban dari OP tersebut. Dalam konteks Badan (Perusahaan dan sejenisnya), kewajaran SPT akan dinilai melalui laporan keuangan Badan tersebut.
Pelaksanaan pemeriksaan pajak yang saya sebutkan di atas akhirnya ditentukan oleh hasil penilaian terhadap kewajaran sebuah SPT. Sebuah SPT yang benar pada dasarnya adalah SPT yang isinya dianggap wajar. Sebaliknya SPT yang tidak benar pada dasarnya adalah SPT yang isinya dianggap tidak wajar.
Yang menjadi pertanyaan adalah apa acuan yang dapat digunakan untuk mengetahui apakah SPT itu wajar atau tidak? Bagaimana caranya agar kita dapat tahu bahwa SPT yang kita serahkan tidak akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan pajak? Apa yang perlu kita lakukan agar penyerahan SPT tidak malah membuat kita was-was?
Ada banyak konsultan pajak yang hadir untuk menjawab semua pertanyaan itu. WP Badan pada umumnya menyewa jasa konsultan pajak untuk mengurus masalah perpajakannya. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa konsultan pajak itu "mengatur" masalah perpajakan klien-kliennya. Saya yakin para konsultan pajak itu lebih tahu definisi wajar dari SPT klien-klien mereka.
Sementara untuk WP OP, ada beberapa hal dasar yang menurut saya perlu diperhatikan untuk menjaga kewajaran SPT. Pertama adalah keseimbangan. WP OP akan melaporkan jumlah penghasilan, harta, dan kewajiban. Ketimpangan pada elemen-elemen ini dapat menimbulkan anggapan ketidakwajaran. Kedua adalah kesinambungan. Jumlah penghasilan, harta, dan kewajiban yang dilaporkan setiap tahun dapat digunakan untuk menilai kewajaran SPT. Perubahan yang drastis antara satu tahun dengan tahun yang lainnya dapat menimbulkan anggapan ketidakwajaran.
Oleh karena itu sebaiknya WP OP membiasakan membuat arsip SPT yang dilaporkannya. Dengan begitu saat waktu pelaporan SPT Tahunan tiba, WP OP tersebut dapat melihat kembali arsip SPT tahun-tahun sebelumnya. Paling tidak jumlah harta dan kewajiban yang dilaporkan di tahun-tahun sebelumnya dapat dengan mudah dilihat kembali.
Intinya adalah kebenaran SPT dinilai dari kewajarannya. Walaupun begitu, tulisan ini tidak bermaksud mendorong WP untuk "mengatur" isi SPT yang dilaporkannya. Perlu diperhatikan bahwa pemeriksaan pajak tidak hanya dilakukan karena ada SPT yang tidak wajar. Ada kalanya pemeriksaan pajak tetap dilakukan untuk menguji kejujuran WP itu sendiri. Apalagi DJP (Direktorat Jenderal Pajak) memiliki informasi yang cukup untuk melakukan pemeriksaan silang. Jadi bukan tidak mungkin SPT yang wajar itu ditemukan kebohongannya melalui pemeriksaan silang tersebut.
Orang Bijak Taat Pajak!
--
Amir Syafrudin
Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)
Langganan:
Postingan (Atom)