Kabar bahwa warteg akan dikenakan pajak tentu santer di berbagai situs berita. Apalagi dengan adanya media jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, kabar tersebut akan jauh lebih mudah tersebar. Seperti peraturan-peraturan lain yang baru muncul, peraturan mengenai pajak terhadap warteg pun mengundang pro dan kontra.
Salah satu pihak yang pro peraturan tersebut adalah DPRD DKI Jakarta yang setuju atas alasan keadilan. Dengan adanya peraturan tersebut, pajak restoran 10% akan dikenakan secara merata ke setiap rumah makan tanpa pandang bulu. Kriteria yang memungkinkan sebuah rumah makan tidak dikenakan pajak ini adalah apabila omset rumah makan tersebut kurang dari 60 juta per tahun atau 5 juta per bulan atau 167 ribu per hari (asumsi 1 bulan terdiri dari 30 hari).
Sepertinya mudah bagi warteg pada umumnya untuk mendapatkan omset 167 ribu per hari itu. Jadi wajar saja kalau banyak orang berasumsi bahwa peraturan itu akan dikenakan kepada mayoritas warteg di Ibukota. Dengan begitu wajar saja bila banyak pihak yang akhirnya tidak menyetujui peraturan pajak warteg itu karena warteg itu identik dengan golongan menengah ke bawah. Aturan tersebut langsung dilihat sebagai kebijakan yang menindas rakyat kecil, karena kemungkinan besar biaya makan di warteg menjadi mahal. Apakah ini yang disebut adil?
Belum lagi pesimisme masyarakat terhadap proses pemungutan pajak warteg ini nantinya. Pajak warteg ini adalah pajak daerah yang proses pemungutannya dikelola sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Pesimisme muncul mengingat pelaksanaan pemungutan pajak itu akan membuka celah untuk pemerasan dan korupsi. Dengan miringnya persepsi masyarakat terhadap pajak dan terhadap pemerintah daerah DKI Jakarta, momentum penetapan pajak warteg ini sepertinya hanya menyulut opini negatif di kalangan masyarakat Ibukota.
Yang pasti efek pajak warteg ini akan dirasakan oleh para pengusaha dan pelanggan warteg. Kalau daya beli masyarakat pelanggan warteg tidak ikut naik saat pajak warteg ini mulai berlaku, maka pengusaha warteg juga akan merasakan penurunan omset mereka. Contohnya pelanggan warteg yang sebelumnya mampu membeli makanan dengan harga 10.000 rupiah menurunkan daya belinya menjadi 9.000 rupiah karena harus membayar pajak sebesar 900 rupiah. Itu artinya pengusaha warteg mengalami penurunan omset sebesar 1.000 rupiah. Kalau dikalikan seribu pelanggan warteg, maka penurunan omset yang terjadi adalah sebesar 1 juta rupiah.
Pada akhirnya yang bisa kita lakukan hanya berharap. Semoga saja realisasi pajak warteg di Januari 2011 nanti tidak memberikan efek negatif yang signifikan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan warteg. Semoga saja proses pemungutan pajak warteg tersebut tidak rawan penyelewengan.
Orang Bijak Taat Pajak!
--
Amir Syafrudin
Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)
02 Desember 2010
Utang dan Pajak
Dalam konteks wajib pajak badan, pembayaran utang masuk kategori beban sehingga pembayaran utang dapat dijadikan pengurang penghasilan neto dari badan tersebut. Jadi pembayaran utang akan mengurangi penghasilan kena pajak dan pada akhirnya akan mengurangi jumlah pajak terutang.
Sayangnya ketentuan tersebut tidak berlaku untuk wajib pajak perorangan. Sampai saat tulisan ini ditulis, pembayaran utang oleh perorangan tidak dapat mengurangi jumlah penghasilan kena pajak. Yang dapat dikecualikan dalam hal ini adalah perorangan yang mendapatkan penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas. Itu pun pembayaran utang yang terkait dengan usaha.
Jadi untuk perorangan yang bekerja sebagai karyawan, pembayaran utang pribadi tidak dapat dijadikan pengurang penghasilan kena pajak. Walaupun pada tahun sebelumnya utang tersebut sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan atau pembayaran utang itu memiliki bukti berupa kuitansi atau sejenisnya, wajib pajak perorangan yang bekerja sebagai karyawan tidak dapat menjadikan pembayaran utang sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Saya pribadi menyayangkan kondisi tersebut karena beberapa saat sebelum tulisan ini dibuat, saya baru saja melunasi utang dengan jumlah yang lumayan besar. Timbul pertanyaan kalau zakat saja sudah dapat dijadikan pengurang penghasilan kena pajak, lalu kenapa utang tidak bisa dijadikan pengurang? Padahal baik utang maupun zakat termasuk unsur pengurang penghasilan setiap orang.
Apa mungkin karena pembuktiannya sulit? Bukti kuitansi untuk utang perorangan sepertinya lebih mudah dipalsukan ketimbang utang yang terkait dengan usaha. Kalau memang benar seperti itu, pembayaran utang perorangan menjadi rentan penipuan. Dengan alasan itu mungkin pembayaran utang perorangan tidak diakui sebagai beban pengurang penghasilan kena pajak.
Sayang sekali saya belum bisa menemukan jawaban yang tegas untuk pertanyaan ini. Yang bisa dilakukan untuk saat ini hanya mematuhi peraturan perpajakan yang sudah berlaku. Semoga ke depannya utang perorangan ini diakui sebagai pengurang pajak, tapi terus terang saya sendiri pesimis.
Orang Bijak Taat Pajak!
--
Amir Syafrudin
Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)
Sayangnya ketentuan tersebut tidak berlaku untuk wajib pajak perorangan. Sampai saat tulisan ini ditulis, pembayaran utang oleh perorangan tidak dapat mengurangi jumlah penghasilan kena pajak. Yang dapat dikecualikan dalam hal ini adalah perorangan yang mendapatkan penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas. Itu pun pembayaran utang yang terkait dengan usaha.
Jadi untuk perorangan yang bekerja sebagai karyawan, pembayaran utang pribadi tidak dapat dijadikan pengurang penghasilan kena pajak. Walaupun pada tahun sebelumnya utang tersebut sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan atau pembayaran utang itu memiliki bukti berupa kuitansi atau sejenisnya, wajib pajak perorangan yang bekerja sebagai karyawan tidak dapat menjadikan pembayaran utang sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Saya pribadi menyayangkan kondisi tersebut karena beberapa saat sebelum tulisan ini dibuat, saya baru saja melunasi utang dengan jumlah yang lumayan besar. Timbul pertanyaan kalau zakat saja sudah dapat dijadikan pengurang penghasilan kena pajak, lalu kenapa utang tidak bisa dijadikan pengurang? Padahal baik utang maupun zakat termasuk unsur pengurang penghasilan setiap orang.
Apa mungkin karena pembuktiannya sulit? Bukti kuitansi untuk utang perorangan sepertinya lebih mudah dipalsukan ketimbang utang yang terkait dengan usaha. Kalau memang benar seperti itu, pembayaran utang perorangan menjadi rentan penipuan. Dengan alasan itu mungkin pembayaran utang perorangan tidak diakui sebagai beban pengurang penghasilan kena pajak.
Sayang sekali saya belum bisa menemukan jawaban yang tegas untuk pertanyaan ini. Yang bisa dilakukan untuk saat ini hanya mematuhi peraturan perpajakan yang sudah berlaku. Semoga ke depannya utang perorangan ini diakui sebagai pengurang pajak, tapi terus terang saya sendiri pesimis.
Orang Bijak Taat Pajak!
--
Amir Syafrudin
Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)
Langganan:
Postingan (Atom)