Seorang kawan pernah berdiskusi dengan saya mengenai kondisi yang membingungkan terkait dengan pajak. Saat itu kawan saya meminta masukan dari saya dalam hal melaporkan salah satu penghasilannya dalam SPT (Surat Pemberitahuan).
Ceritanya cukup panjang, namun saya akan langsung paparkan intinya. Kondisi yang dialami kawan saya saat itu adalah dia memiliki penghasilan yang "seharusnya" sudah bebas pajak. Kenyataannya dia tidak bisa membuktikan bahwa penghasilannya sudah dipotong pajak.
Alasan kawan saya tidak bisa membuktikan potongan pajak terhadap penghasilannya adalah karena dia tidak memiliki bukti potong pajak dari pemberi kerja (atau pihak yang berhak memotong pajaknya). Walaupun begitu, kawan saya bersikeras bahwa penghasilannya sudah dipotong pajak.
Sayangnya peraturan adalah peraturan. Kalau memang penghasilan seseorang sudah dipotong pajaknya oleh pihak lain, maka orang itu harus menyediakan bukti potong pajak sebagai alat buktinya. Bukti potong ini terutama diperlukan saat melaporkan SPT.
Saran saya yang pertama kepada teman saya adalah menghubungi pihak pemberi kerja untuk meminta bukti potong pajaknya. Ternyata hal ini agak sulit dilakukan karena dia sudah tidak mungkin menghubungi pihak tersebut. Kalaupun pihak pemberi kerja itu dapat dihubungi, kawan saya tidak yakin bahwa pihak pemberi kerja itu dapat mengeluarkan bukti potongnya. Singkat kata, pilihan ini terlalu complicated.
Saran yang kedua dari saya adalah membayar sendiri pajaknya. Itu artinya dia harus mengambil sekian persen dari penghasilannya untuk membayar pajak penghasilannya itu sendiri. Solusi yang sekilas terlihat merugikan, tapi kenyataannya hal ini lebih baik ketimbang harus khawatir berurusan dengan pemeriksa pajak.
Pada akhirnya kawan saya menerima usul yang kedua itu. Sepertinya kawan saya memang berniat untuk menjadi orang yang taat pajak. Saya bersyukur karena akhirnya saya tidak harus terjebak di tengah-tengah kawan dan peraturan.
Orang Bijak Taat Pajak!
--
Amir Syafrudin
Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)